Bentuk baku kata jomblo adalah jomlo dan bentuk baku kata antri adalah antre. Karena itu, sebagian orang kemudian menganggap bahwa menggunakan kata jomblo dan antri adalah salah karena bentuk yang baku adalah jomlo dan antre. Karena itu juga, sebagian orang menganggap kata jomblo dan antri bukanlah kosakata yang baik dan benar.
Kondisi di atas menggambarkan bagaimana sebuah istilah yang sudah demikian populer pun belum tentu kita pahami dengan benar. Tampaknya, makna istilah bahasa baku tercampur aduk dengan bahasa yang baik dan benar sehingga ada kesan bahwa orang sebaiknya hanya menggunakan bentuk baku, terutama dalam tulisan. Ada juga cibiran bahwa bahasa baku hanyalah upaya pemerintah untuk menyeragamkan.
Bahasa Indonesia Baku
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V, makna kata baku yang relevan dengan istilah bahasa dan bentuk baku adalah pokok, utama, tolok ukur yg berlaku untuk kuantitas atau kualitas yg ditetapkan berdasarkan kesepakatan, standar.
ba·ku [1] n 1 pokok; utama: beras merupakan bahan makanan — bagi rakyat Indonesia; 2 tolok ukur yg berlaku untuk kuantitas atau kualitas yg ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar;
—KBBI V
Dari sana bisa kita lihat bahwa makna kata baku tidak melibatkan makna baik dan/atau benar. Dengan mengacu pada makna di atas, bisa kita simpulkan bahwa bahasa baku adalah bahasa pokok, bahasa utama, bahasa tolok ukur berdasarkan kesepakatan, atau bahasa standar.
Di dalam Kamus Linguisitk, istilah bahasa baku dijelaskan pada lema “bahasa standar”, yaitu “ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, berbicara di depan umum, atau bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa”.
bahasa standar (standard language) ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resml, berbicira di depan umum, dsb.; 2. bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa.
—Kridalaksana, 1982:21
Penjelasan yang lebih komprehensif atas istilah bahasa baku dikemukakan Yus Rusyana dalam Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan: “bahasa baku atau bahasa standar adalah suatu bahasa yang dikodifikasikan, diterima, dan dijadikan model oleh masyarakat bahasa yang lebih luas” (Rusyana, 1984:104). Jadi, ada tiga aspek yang dimiliki bahasa baku, yaitu kodifikasi, keberterimaan, dan fungsi sebagai model.
Tiga Aspek Bahasa Bentuk Baku
Dalam Kamus Lingustik karya Harimurti Kridalaksana disebutkan bahwa kodifikasi (codification) adalah “proses pencatatan norma-norma yang telah dihasilkan oleh proses standardisasi, dalam bentuk buku tata bahasa, pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman istilah, atau kamus” (Kridalaksana, 1982:87). Jadi, bahasa Indonesia baku adalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang norma-norma dan kosakatanya terkodifikasi melalui proses standardisasi dan dipublikasikan sebagai panduan normatif, seperti Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Selain berkenaan dengan norma-norma, kodifikasi juga berkaitan dengan masalah bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaian bahasa. Dari pertimbangan situasi ini akan muncul ragam bahasa. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, ada ragam bahasa tulis dan ragam bahasa tutur. Dalam ragam bahasa tulis ada ragam bahasa sastra, ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa pers, dan lainnya. Pada umumnya, ragam-ragam ini menggunakan kosakata bentuk baku. Dalam ragam bahasa tutur, ada ragam bahasa formal, ragam bahasa informal, dan lainnya.
Norma-norma yang telah dikodifikasi itu harus berterima secara luas di kalangan masyarakat pengguna bahasa tersebut sehingga keberterimaan itu akan menjadikan bahasa baku memiliki kekuatan untuk mempersatukan pengguna dan penggunaannya.
Aspek ketiga bahasa baku adalah berfungsi sebagai model, sebagai acuan yang masyarakat gunakan sebagai rujukan dalam berbahasa. Acuan itu merupakan hasil kesepakatan umum sebagai tolok ukur bahasa dan pemakaian bahasa di dalam situasi tertentu atau pemakaian bahasa tertentu.
Secara linguistik, bahasa baku tidak memiliki ciri internal khusus yang menjadikannya lebih utama daripada bahasa nonbaku. Status normatif dan prestisenya semata-mata hasil kesepakatan atau kesejarahan. Untuk menekankan fakta ini, istilah bahasa baku (standard language) terkadang digantikan istilah dialek baku (standard dialect) (Wikipedia, “Varietas Bahasa”).
Bahasa Indonesia Nonbaku
Di dalam bahasa Inggris, bahasa nonbaku disebut nonstandard language. Dari definisi bahasa baku bisa kita turunkan definisi bahasa nonbaku, yaitu suatu bahasa yang tidak dikodifikasikan dan tidak dijadikan model dalam berbahasa oleh masyarakat luas. Bahasa nonbaku jelas berterima di kalangan tertentu—tidak secara luas—atau dalam situasi pemakaian bahasa tertentu. Bahasa nonbaku adalah bahasa yang orang gunakan untuk berbicara dan menulis dengan pelafalan, tata bahasa, dan kosakata berbeda dari bentuk baku suatu bahasa (Richards & Schmidt, 2010:398).
Pada kenyataannya, bahasa nonbaku tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya, yaitu dalam pemakaian bahasa tidak resmi. Ia adalah bagian dari kekayaan ragam suatu bahasa, bahkan cikal bakal yang melahirkan bahasa baku. Ragam bahasa nonbaku ada lebih dulu daripada bahasa baku dan dari ragam bahasa inilah diambil norma-norma, ejaan, dan kosakata yang dikodifikasikan sehingga menjadi bentuk baku.
Karena itu, bahasa nonbaku tidak berarti bahasa yang buruk dan salah sebagaimana bahasa baku tidak berarti bahasa yang baik dan benar. Kriteria baik/buruk dan benar/salah dalam bahasa bersifat internal dalam ragam bahasa yang bersangkutan. Artinya, suatu ragam bahasa tidak diukur dengan kriteria ragam bahasa lainnya. Jadi, menggunakan bahasa nonbaku sesuai dengan kaidah dan fungsinya sama benarnya dengan menggunakan bahasa baku sesuai dengan kaidah dan fungsinya. Demikian juga, menggunakan bahasa nonbaku sesuai dengan pemakai dan situasi pemakaiannya sama baiknya dengan menggunakan bahasa baku sesuai dengan pemakai dan situasi pemakaiannya.
Penggunaan Bahasa Indonesia Baku dan Nonbaku
Sebagai bahasa terstandardisasi, bahasa baku digunakan dalam konteks-konteks formal berikut ini (Lanin, 2010:5).
- Komunikasi resmi: surat-menyurat resmi, peraturan pengumuman instansi resmi atau undang-undang, dan penamaan lembaga serta peristilahan resmi.
- Tulisan ilmiah: laporan penelitian, makalah, skripsi, disertasi, dan buku-buku ilmu pengetahuan.
- Pembicaraan resmi di muka umum: khotbah, ceramah, dan pidato.
- Pembicaraan dengan orang yang dihormati atau yang belum dikenal: guru-murid di kelas, guru-kepala sekolah dalam rapat, mahasiswa-dosen di ruang kuliah, atau dengan orang yang belum dikenal dalam pertemuan-pertemuan resmi.
Dalam konteks-konteks formal seperti di atas, orang mesti menggunakan bahasa Indonesia baku dengan baik dan benar, sedangkan di luar konteks-konteks tersebut orang perlu menggunakan bahasa Indonesia nonbaku dengan baik dan benar.
Jadi, secara linguistik, bahasa baku tidak memiliki ciri internal khusus yang menjadikannya lebih utama daripada bahasa nonbaku. Status normatif dan prestisenya semata-mata hasil kesepakatan atau kesejarahan. Karena itu, tidak ada alasan unutk menganggap bahasa nonbaku lebih rendah daripada bahasa baku.
Baik kita sadari maupun tidak, salah satu penyebab sikap merendahkan bahasa nonbaku adalah semboyan, “Pergunakanlah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar”. Tampaknya, orang memahami semboyan tersebut sebagai “Pergunakanlah Bahasa Indonesia Baku”. Orang memahami bahasa yang baik dan benar sebagai bahasa baku sehingga menganggap bahasa nonbaku sebagai bahasa yang buruk dan salah. Dari uraian pada paragraf-paragraf sebelumnya bisa kita lihat ada yang lesap dalam semboyan tersebut. Bentuk lengkapnya mestinya berbunyi, “Pergunakanlah Bahasa Indonesia Baku dan Nonbaku dengan Baik dan Benar“.
Penggunaan Bahasa Bentuk Baku dan Nonbaku
Bahasa Indonesia baku dan nonbaku memiliki kaidah, fungsi, dan konteks pemakaiannya masing-masing. Menggunakan suatu ragam bahasa yang tidak sesuai dengan ketiga aspeknya tersebut akan menimbulkan “kegelian, keanehan, dan kecurigaan” (Badan Bahasa, 2000:21). Sebuah tulisan ilmiah tentu tidak benar jika menggunakan kaidah bahasa nonbaku. Begitu juga, tidak benar menggunakan kaidah bahasa baku dan kosakata bentuk baku dalam percakapan informal sehari-hari.
- Berapakah harga tomat ini per kilo, Bu?
- Berapakah ongkosnya jika Abang mengantarkan saya ke pasar?
Kedua kalimat contoh di atas tentu bukan bahasa yang baik dan benar karena menggunakan kaidah bahasa baku dan kosakata bentuk baku pada konteks pemakaian bahasa nonbaku. Bahasa yang baik dan benar untuk konteks di atas adalah sebagai berikut.
- Tomatnya berapa, nih, sekilonya, Bu?
- Tomatnya berapa sekilo, Bu?
- Ke pasar, berapa, Bang?
- Ke pasar, Bang. Berapa?
Karena itu, semboyan “Pergunakanlah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar” mesti kita pahami sebagai anjuran menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan kaidah, fungsi, dan konteks pemakaiannya, bukan ajuran untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia baku dan kosakata bentuk baku.
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2017. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. PDF.
http://repositori.kemdikbud.go.id/16351/ - Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia.
- Lanin, Ivan. 2010. Rangkuman Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: TSN HPI 2010. PDF.
https://www.scribd.com/doc/34115611/Rangkuman-tata-bahasa-Indonesia - Richards, Jack C., & Richard W. Schmidt. 2010. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. Fourth Edition. London & New York: Routledge.
- Rusyana, Y. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Dipenogoro.
- Wikipedia. “Varietas Bahasa”. https://id.wikipedia.org/wiki/Varietas_bahasa. Diakses 12 Februari 2022.