Gaya bahasa ialah cara mengungkapkan perasaan atau pikiran dengan bahasa sedemikian rupa sehingga kesan dan efek terhadap pembaca atau pendengar dapat dicapai semaksimal dan seintensif mungkin.
Gaya bahasa merupakan pemanfaatan kekayaan bahasa dengan pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek yang membuat sebuah tuisan menjadi lebih hidup. Ini merupakan ciri bahasa para penulis sastra dan cara khas mereka dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.
Gaya bahasa atau majas terutama digunakan dalam penulisan karya sastra, baik puisi maupun prosa. Pada umumnya, puisi mempergunakan lebih banyak majas ketimbang prosa.
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan sebuah karya sastra dan menimbulkan konotasi tertentu. Penggunaan majas yang tepat akan membantu pembaca untuk mendapatkan makna yang lebih dalam dari sebuah karya sastra.
Gaya bahasa terbagi dalam empat kelompok, yaitu
A. Gaya Bahasa Penegasan
- Alusio: menggunakan peribahasa yang maksudnya sudah dipahami umum.
- Dalam bergaul hendaknya kau waspada; jangan teperdaya dengan apa yang kelihatan baik di luarnya saja. Segala yang berkilau bukanlah berarti emas.
- Antiklimaks: menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin rendah tingkatannya.
- Kakeknya, ayahnya, dia sendiri, anaknya, dan sekarang cucunya tak luput dari penyakit keturunan itu.
- Antitesis: menggunakan paduan kata-kata yang artinya bertentangan.
- Tinggi-rendah harga dirimu bukan elok tubuhmu yang menentukan, tetapi kelakuanmu.
- Antonomasia: mempergunakan katakata tertentu untuk menggantikan nama seseorang. Kata-kata ini diambil dari sifatsifat yang menonjol yang dimiliki oleh orang yang dimaksud.
- Si Pelit dan Si Centil sedang bercanda di halaman rumah Si Jangkung.
- Asindeton: menyebutkan beberapa hal berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung.
- Buku tulis, buku bacaan, majalah, koran, surat-surat kantor semua dapat Anda beli di toko itu.
- Elipsis: menggunakan kalimat elips (kalimat tak lengkap), yakni kalimat yang predikat atau subjeknya dilesapkan karena dianggap sudah diketahui oleh lawan bicara:
- “Saya khawatir, jangan-jangan dia ….”
- Eufemisme: menggunakan kata-kata lain untuk menggantikan kata-kata yang dianggap kurang baik.
- Karena terjerat kasus korupsi, ia harus dihadapkan di meja hijau.
- Hiperbolisme: menyatakan sesuatu hal dengan melebih-lebihkan keadaan yang sebenarnya.
- Suaranya mengguntur membelah angkasa.
- Interupsi: mempergunakan kata-kata atau frasa yang disisipkan di tengah-tengah kalimat.
- Saya, kalau bukan karena terpaksa, tak mau bertemu dengan dia lagi.
- Inversi: menggunakan kalimat inversi, yakni kalimat yang predikatnya mendahului subjek. Hal ini sengaja dibuat untuk memberikan ketegasan pada predikatnya.
- Pergilah ia meninggalkan kampung halamannya untuk mencari harapan baru di kota.
- Klimaks: menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin tinggi tingkatannya.
- Di dusun-dusun, di desa-desa, di kota-kota, sampai ke ibu kota, hari proklamasi ini dirayakan dengan meriah.
- Koreksio: menggunakan kata-kata pembetulan untuk mengoreksi (menggantikan kata yang dianggap salah).
- Setelah acara ini selesai, silakan saudara-saudara pulang, eh, maaf, silakan saudara-saudara mencicipi hidangan yang telah tersedia.
- Metonimia: mempergunakan sebuah kata atau sebuah nama yang berhubungan dengan suatu benda untuk menyebut benda yang dimaksud. Misal, penyebutan yang didasarkan pada merek dagang, nama pabrik, nama penemu, dan lain sebagainya.
- Udin mengisap Gentong, Husni mengisap Gudang Garam.
- Parafrasa: penguraian dengan menggunakan ungkapan atau frasa yang lebih panjang daripada kata semula. Misal, pagi-pagi digantikan ketika sang surya merekah di ufuk timur; materialistis diganti dengan gila harta benda.
- Ketika mentari membuka lembaran hari, anak sulung Pak Sastra itu melangkahkan kakinya ke sawah.
- Paralelisme: pengulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi. Pengulangan di bagian awal dinamakan anafora, sedang di bagian akhir disebut epifora.
- Contoh Anafora: Sunyi itu duka / Sunyi itu kudus / Sunyi itu lupa / Sunyi itu lampus.
- Contoh Epifora. Rinduku hanya untukmu / Cintaku hanya untukmu / Harapanku hanya untukmu.
- Pars pro toto: menyebutkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan.
- Sudah lama ditunggu-tunggu, belum tampak juga batang hidungnya.
- Pleonasme: menggunakan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu karena artinya sudah terkandung dalam kata sebelumnya.
- Dia maju dua langkah ke depan.
- Polisindeton: menyebutkan beberapa hal berturut-turut dengan menggunakan kata penghubung (kebalikan asindeton).
- Buku tulis, majalah, dan surat-surat kantor dapat dibeli di toko itu
- Repetisi: mengulang-ulang sebuah kata berturut-turut dalam suatu wacana. Gaya bahasa jenis ini sering dipakai dalam pidato atau karangan berbentuk prosa.
- Sekali merdeka, tetap merdeka!
- Retoris: menggunakan kalimat tanya, tetapi sebenarnya tidak bertanya.
- Inikah yang kau namakan kerja?
- Sinekdoke: gaya bahasa yang mencakup pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan) dan totem pro parte (keseluruhan untuk sebagian).
- Tautologi: menggunakan kata-kata yang sama artinya dalam satu kalimat.
- Engkau harus dan wajib mematuhi semua peraturan.
- Totem pro parte: menyebutkan keseluruhan untuk menyatakan sebagian.
- Cina mengalahkan Indonesia dalam babak final perebutan Piala Thomas.
B. Gaya Bahasa Perbandingan
- Alegori: membandingkan dua buah keutuhan berdasarkan persamaannya secara menyeluruh.
- Kami semua berdoa, semoga dalam mengarungi samudra kehidupan ini, kamu berdua akan sanggup menghadapi badai dan gelombang.
- Litotes: menyatakan sesuatu dengan memperendah derajat keadaan sebenarnya, atau yang menggunakan kata-kata yang artinya berlawanan dari yang dimaksud untuk merendahkan diri.
- Silakan, jika kebetulan lewat, Saudara mampir ke pondok saya.
- Metafor: membandingkan dua hal yang berbeda berdasarkan persamaannya.
- Semangat juangnya berkobar, tak gentar menghadapi musuh.
- Personifikasi: membandingkan benda mati atau benda hidup selain manusia dengan manusia; dianggap berwatak dan berperilaku seperti manusia.
- Nyiur melambai-lambai di tepi pantai.
- Simbolik: mempergunakan lambang-lambang atau simbol-simbol untuk menyatakan sesuatu.
- Janganlah kau menjadi bunglon.
- Simile: perbandingan yang mempergunakan kata-kata pembanding (seperti, laksana, bagaikan, penaka, ibarat, dan lain sebagainya) dengan demikian pernyataan menjadi lebih jelas:
- Hidup tanpa cinta bagaikan sayur tanpa garam.
- Tropen: mempergunakan kata-kata yang maknanya sejajar dengan pengertian yang dimaksudkan.
- Bapak terbang ke Denpasar tadi pagi.
C. Gaya Bahasa Pertentangan
- Anakronisme: mengandung uraian atau pernyataan yang tidak sesuai dengan sejarah atau zaman tertentu. Misalnya menyebutkan sesuatu yang belum ada pada suatu zaman.
- Mahapatih Gadjah Mada menggempur pertahanan Sriwijaya dengan peluru kendali jarak menengah.
- Kontradiksio in terminis: mengandung pertentangan, yakni apa yang dikatakan terlebih dahulu diingkari oleh pernyataan yang kemudian.
- Suasana sepi, tak ada seorang pun yang berbicara, hanya jam dinding yang terus kedengaran berdetak-detik.
- Okupasi: mengandung bantahan dan penjelasan.
- Sebelumnya dia sangat baik, tetapi sekarang menjadi berandal karena tidak ada perhatian dari orang tuanya.
- Paradoks: mengandung dua pernyataan yang bertentangan dalam satu kalimat.
- Tikus mati kelaparan di lumbung padi yang penuh berisi.
D. Gaya Bahasa Sindiran
- Inuendo: sindiran yang mempergunakan pernyataan yang mengecilkan kenyataan sebenarnya.
- Ia menjadi kaya raya lantaran mau sedikit korupsi.
- Ironi: sindiran paling halus yang menggunakan kata-kata yang artinya justru sebaliknya dengan maksud pembicara.
- Eh, manis benar teh ini. (Maksudnya: pahit.)
- Sarkasme: sindiran yang menggunakan kata-kata yang kasar. Biasanya gaya bahasa ini dipakai untuk menyatakan marah.
- Dasar goblok, sudah berkali-kali diberi tahu, tetap saja tidak mengerti.
- Sinisme: semacam ironi, tetapi lebih kasar.
- Hai, harum benar baumu. Tolong agak menyisih sedikit.
- Lanin, Ivan. 2010. Rangkuman Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: TSN HPI 2010. (PDF)
- Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
- Nurgiyantoro, Burhan. 2019. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.